Tuesday, 10 June 2025

Poem: Cat Lovers of the World






In silent alleys and noisy cities,

Soft pawsteps whisper without a sound,

There are souls with open hearts,

Caring for the furry as if they’re crowned.


Not merely pets for fleeting fun,

But friends when lonely days begin,

Caressed and cherished with gentle grace,

Held tight as if time could not erase.


From kitchen corners to garden's end,

Cats become companions, loyal friends,

Cat lovers—with hearts that feel,

They mourn when whiskered friends turn still.


Whether poor or blessed with gold,

They feed the strays, warm or cold,

Sleeping on laps, playing by panes,

All for the love that never wanes.


Cat lovers, you are silent knights,

No sword in hand, no warlike rights,

Yet your kindness spreads like morning light,

Turning the cruel world subtly bright.


A salute to all of you out there,

Who love with no condition or care,

In a world that’s often harsh and untrue,

Your love for cats brings peace anew.


So keep on loving, never tire,

For your compassion climbs ever higher,

Cat lovers—you are a gift, no less,

In this troubled world, you bring gentleness.


@WRJ


Sajak: Pencinta Kucing Dunia

 




Dalam sunyi lorong dan bising kota,

Langkah lembut berbulu tak bersuara,

Ada insan dengan hati terbuka,

Menjaga si comel bagai permata.


Bukan sekadar haiwan peliharaan,

Tapi sahabat kala sepi datang,

Dibelai, disantuni penuh kasih sayang,

Dipeluk seolah tak ingin hilang.


Dari sudut dapur ke hujung laman,

Kucing jadi teman setia dan aman,

Pencinta kucing—jiwa perasa,

Mampu menangis bila si comel tiada.


Tak kira miskin atau berada,

Mereka beri makan walau berkira,

Tidur di pangkuan, main di jendela,

Segalanya demi makhluk manja.


Pencinta kucing, engkaulah pahlawan,

Tanpa pedang, tanpa panji-panji perjuangan,

Tapi cinta dan belaimu berpanjangan,

Mengubah dunia jadi lebih berperasaan.


Salam hormat buat kamu semua,

Yang mengasihi tanpa syarat dan cela,

Dalam dunia yang sering kejam dan dusta,

Cinta kucingmu bawa damai yang nyata.


Teruskan menyayangi, jangan pernah lelah,

Kerana kasihmu lebih tulus dari madah,

Pencinta kucing, engkaulah anugerah,

Dalam hidup ini yang serba gundah.


@WRJ



Friday, 6 June 2025

“Saat Aidiladha Menyapa Dunia”


Dari padang pasir ke langit beku,

Di seluruh bumi yang azan bersatu,

Satu gema suci pun perlahan jatuh—

Panggilan Aidiladha, serata pelusuk.


Di jantung Mekah, jemaah melangkah,

Jejak tawaduk penuh barakah,

Lafaz talbiah naik ke udara,

Di celah batu, cahaya dan doa.


Namun jauh dari Kaabah nan mulia,

Ada gema lain yang turut berbicara—

Dari pulau hijau ke kota berdansa,

Dalam segala bahasa, dalam segala rupa.


Umat berkumpul, tua dan muda,

Bersarung putih, berselendang budaya,

Tiada takhta, tiada darjat, tiada kasta,

Hanya hati tunduk pada Yang Esa.


Pisau diangkat, korban disembelih,

Bukan kerana lapar atau sedekah yang bersilih,

Tapi sebagai tanda ikatan setia,

Antara hamba dan Tuhannya.


Daging diagih penuh mesra,

Kepada yang miskin, yang terluka,

Namun hadiah paling utama,

Adalah jiwa yang suci dan mulia.


Dalam rumah yang diseri pelita,

Keluarga menjamu dalam suasana mesra,

Namun di tengah tawa dan gurau senda,

Terpatri ingatan pada Yang Maha Kuasa.


Kerana dahulu Ibrahim berdiri,

Dengan hati gentar namun berani,

Mengorbankan yang paling dikasihi,

Demi iman yang tidak terperi.


Wahai Aidiladha, hari yang bersinar,

Kau satukan umat dalam ibadah yang benar,

Kau ajar erti kasih melalui pengorbanan,

Bahawa derita kadang adalah jalan kesyukuran.


Dari timur ke barat pesanmu kekal,

Bahawa Tuhan itu Satu, tiada tanding setara,

Dan dalam nama-Nya kita semua berserah,

Untuk memberi, berkongsi, tanpa meminta balas.


Maka biarlah takbir bergema lagi,

Di celah gunung atau rel kereta api,

Kerana Aidiladha bukan sekadar hari—

Ia jalan jiwa, menuju redha abadi.




“When Aidiladha Calls the World”


From desert sands to frozen skies,

Across the lands where minarets rise,

A sacred echo gently falls—

The call of Aidiladha reaches all.


In Mecca’s heart, the pilgrims tread,

With humble steps where prophets led,

Their chants ascend in fervent praise,

Through ancient stones and sunlit haze.


But far beyond the Kaabah’s walls,

Another chorus softly calls—

From islands green to bustling towns,

In every tongue, in every gown.


The faithful gather, young and old,

In cotton white, in robes of gold,

No throne, no crown, no rank, no race—

But hearts aligned in sacred grace.


The knife is drawn, the beast laid low,

Not for hunger, nor for show,

But for a pact with God above—

A gesture of trust, obedience, love.


And while the flesh is shared with care,

Among the poor, the lost, the bare,

The greater gift is one unseen:

The soul made humble, pure, and clean.


In homes adorned with lantern light,

Families feast through peaceful night,

Yet pause between the joy and cheer,

To honour what they hold most dear.


For Ibrahim once dared to stand,

With trembling heart and steady hand,

To give what none would dare to give,

So faith—not fear—might truly live.


O Aidiladha, day of light,

You bind the world in sacred rite,

You teach that love is found in pain,

That sacrifice is never vain.


From east to west, your truth remains:

That God is One, and in His name

We rise as one, from every shore,

To serve, to share, to ask no more.


So let the takbir rise again,

Through mountain pass and crowded train,

For Aidiladha is not just a day—

It is a path, a soul’s pure way.




“Aidiladha Menyapa Jiwa”


Tatkala fajar menyingsing perlahan,

Dedaun pohon berzikir diam,

Bayu lembut mengusap perasaan,

Hari mulia menjelma dalam damai yang dalam.


Takbir suci bergema syahdu,

Dari langit turun rasa sendu,

Seluruh alam tunduk dan bisu,

Mendengar lafaz rindu kepada Yang Satu.


Aidiladha, wahai anugerah Ilahi,

Datang membawa seribu erti,

Bukan sekadar pesta dan kenduri,

Tapi lambang takwa dan sujud hakiki.


Kisah Nabi Ibrahim tersemat di dada,

Ujian berat, hati pun merana,

Namun taat tidak pernah luntur jua,

Demi Tuhan, rela segala.


Ismail si anak, jiwa bersih bak embun,

Tunduk patuh walau nyawa ditaruhkan,

Tanpa jerit, tanpa keluhan,

Reda menjadi saksi keimanan.


Dan Tuhan yang Maha Mengerti,

Mengganti sembelihan dengan rahmat sejati,

Bukan darah yang sampai ke langit tinggi,

Tetapi keikhlasan yang suci dan murni.


Wahai insan, apa makna korbanmu?

Adakah hanya haiwan yang disembelih  lesu?

Atau nafsu jahat yang kau tewaskan dulu,

Dalam diam, tanpa riak, tanpa ragu?


Hari ini kita berhimpun mesra,

Di surau, masjid dan tanah lapang terbuka,

Bersama menadah tangan pada Yang Esa,

Memohon rahmat, rezeki dan reda.


Anak-anak riang dalam pakaian indah,

Orang tua tersenyum meskipun lelah,

Tetamu dijamu, daging dikongsi megah,

Aidiladha mengajar kita erti ibadah.


Kita mungkin tiada di tanah haram,

Tapi hati pasrah dan ruh tetap diam,

Menumpang rindu jemaah yang bertawaf diam,

Moga Allah terima niat yang dalam.


Wahai umat, jangan alpa dan leka,

Hari ini bukan hanya bersuka ria,

Tapi ruang menilai jiwa dan dosa,

Agar hidup lebih dekat dengan Pencipta.


Aidiladha bukan hari biasa,

Ia madrasah yang menyapa rasa,

Menuntun kita kembali ke arah-Nya,

Dengan hati yang jujur dan jiwa yang peka.


@WRJ



Tuesday, 3 June 2025

Gurindam Syukur kepada Allah (Puisi dalam bentuk gurindam)



Jika pagi mentari bersinar,

Itu tanda kasih-Nya yang besar.


Jika malam tenang membentang,

Itu rahmat yang tak terbilang.


Jika tubuh sehat dan kuat,

Itu nikmat yang amat hebat.


Jika rezeki datang bertubi,

Itu karunia Ilahi Rabbi.


Jika hati terasa damai,

Itu petunjuk dari yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih semai.


Jika hidup terasa lapang,

Jangan lupa Allah yang memangku ruang.


Jika ujian datang bertimpa,

Itu tanda cinta dari Yang Esa.


Jika doa belum terjawab nyata,

Mungkin hikmahnya lebih berharga.


Bersyukur kita dalam diam,

Allah tahu tiap gerak dan dalam.


Bersujudlah dengan rendah hati,

Agar nikmat tak pergi dan terus abadi.


@WRJ


"Kerana Nila Setitik, Rosak Susu Sebelanga": Pepatah Lama, Pengajaran Sepanjang Zaman

Pepatah Melayu “kerana nila setitik, rosak susu sebelanga” membawa makna yang sangat mendalam — betapa satu kesalahan kecil atau individu ya...